Sabtu, 09 November 2013

CONTOH MAKALAH SINDROMA NEFROTIK



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria masif, hipoproteinemia, edema, dan dapat disertai dengan hiperlipidemia. Angka kejadian SN di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di poliklinik khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000.
Penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan kebocoran protein (khususnya albumin) ke dalam ruang Bowman akan menyebabkan terjadinya sindrom ini. Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.
Sindrom nefrotik (SN) pada anak yang didiagnosis secara histopatologik sebagai lesi minimal, sebagian besar memberikan respons terhadap pengobatan steroid (sensitif steroid). Sedangkan SN lesi nonminimal sebagian besar tidak memberikan respons terhadap pengobatan steroid (resisten steroid).1-4 International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) membuat panduan gambaran klinis dan laboratorium untuk memperkirakan jenis lesi pada anak yang menderita SN. Gambaran klinis dan laboratorium tersebut adalah usia saat serangan pertama, jenis kelamin, hipertensi, hematuria, rerata kadar kreatinin, komplemen C3, dan kolesterol serum. Seperti telah diketahui, bentuk histopatologik memberikan gambaran terhadap respons pengobatan steroid, seperti jenis glomerulonefritis mesangial proliferatif (GNMP) sebesar 80-85% adalah resisten seroid. Sampai saat ini, belum terdapat data gambaran histopatologik di Indonesia, sehingga pada sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) dan sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) akan memberikan gambaran klinis yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh ISKDC. Kadar protein nonalbumin diikutsertakan pula dalam penelitian ini karena belum pernah diteliti sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara berbagai gambaran klinis dan laboratorium secara bersama-sama dengan respons terhadap pengobatan steroid (SNRS dan SNSS). (Behrman, 2000)

B.       Tujuan Penulisan Makalah

1.         Tujuan Umum
Mahasiswa keperawatan mampu memahami konsep dasar medis dan asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit sindroma nefrotik.
2.         Tujuan Khusus
Mahasiswa keperawatan dapat :
a.         Menjelaskan pengertian dari sindroma nefrotik
b.        Menjelaskan etiologi dari sindroma nefrotik
c.         Menjelaskan patofisiologi dan pohon masalah (pathways) dari sindroma nefrotik
d.        Menjelaskan manifestasi klinik dari sindroma nefrotik
e.         Menjelaskan pemeriksaan penunjang dari sindroma nefrotik
f.          Menjelaskan penatalaksanaan dari sindroma nefrotik
g.        Menjelaskan komplikasi dari sindroma nefrotik
h.        Menjelaskan asuhan keperawatan dari sindroma nefrotik





BAB II
KONSEP DASAR MEDIS

A.      Definisi
Nephrotic Syndrome adalah merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hypoproteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema. (Suriadi, 2006)
Sindroma nefrotik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya faktor yang menyebabkan premeabilitas glomerulus. (Hidayat, A.Aziz, 2006)
Sindroma Nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. (Ngastiyah, 2005)
Berdasarkan pengertian diatas maka, dapat diambil kesimpulan bahwa sindroma nefrotik adalah merupakan suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema.
B.       Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Menurut Ngastiyah (2005), umumnya etiologi dibagi menjadi :
1.      Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
Gejala : Edema pada masa neonatus
2.      Sindrom nefrotik sekunder
Disebabkan oleh :
a.       Malaria kuartana (malaria kuartana yang disebabkan plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala itu kemudian akan terulang lagi tiap tiga hari) atau parasit lainnya.
b.      Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
c.       Glumerulonefritis akut atau kronik,
d.      Trombosis vena renalis.
e.       Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.
f.        Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik. (Ngastiyah, 2005)
3.      Sindrom nefrotik idiopatik
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik primer. Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churk dkk membaginya menjadi :
a.       Kelainan minimal
Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat imunoglublin G (IgG) pada dinding kapiler glomerulus.
b.      Nefropati membranosa
Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.
c.       Glomerulonefritis proliferatif
1.      Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
2.      Dengan penebalan batang lobular.
Terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.

3.      Dengan bulan sabit ( crescent)
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral. Prognosis buruk.
4.      Glomerulonefritis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membran basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA rendah. Prognosis buruk.
5.      Lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas.
4.      Glomerulosklerosis fokal segmental
Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus. Sering disertai atrofi tubulus. Prognosis buruk.

C.      Patofisiologi dan Pohon Masalah (Pathways)
Kondisi dari sindrom nefrotik adalah hilangnya plasma potein, terutama albumin ke dalam urine. Meskipun hati mampu meningkatkan produksi albumin, namun organ ini tidak mampu untuk terus mempertahankannya jika albumin terus-menerus hilang melalui ginjal sehingga terjadi hipoalbuminemia.
Terjadinya penurunan tekanan onkotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskular ke dalam ruang cairan ekstraseluler. Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem renin-angiotensin menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut.
Manifestasi dari hilangnya protein dalam serum akan menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan terjadi peningkatan konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia).
Sindrom nefrotik dapat terjadi di hampir setiap penyakit renal intrinsik atau sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang dewasa termasuk lansia. Penyebab sindrom nefrotik mencakup glomerulonefritis kronis, dibetes mellitus disertai glomerulosklerosis interkapiler, amiloidosis ginjal, penyakit lupus erythematosus sistemik, dan trombosis vena renal.
Respons perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional akan memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien yang mengalami glomerulus progresif cepat. (Arif Muttaqin, 2011).
































D.      Manifestasi Klinik
1.         Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
2.         Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa
3.         Pucat
4.         Hematuri
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.
5.         Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
6.         Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya terjadi.
7.         Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang), (Betz, Cecily L.2002 )

E.       Pemeriksaan Penunjang
1.         Pemeriksaan Urin
Urinalisis adalah tes pertama kali digunakan dalam diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria nefrotik akan terlihat oleh 3 + atau 4 + pada dipstick bacaan, atau dengan pengujian semi kuantitatif oleh asam sulfosalicylic. Sebuah 3 + merupakan 300 mg / dL dari protein urin atau lebih, yaitu 3 g / L atau lebih dan dengan demikian dalam kisaran nefrotik. Pemeriksaan dipsticks kimia albumin adalah protein utama yang diuji.
a.         Protein urin                      > 3,5 gram/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari
b.        Urinalisa                   cast hialin dan granular, hematuria
c.         Dipstick urin                    positif untuk protein dan darah
d.        Berat jenis urin                  meningkat (normal : 285 mOsmol)
2.         Darah
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
a.         Protein total menurun (N : 6,2-8,1 mg/100 ml)
b.        Albumin menurun (N : 4-5,8 mg/100 ml). Hal ini disebut sebagai hipoalbuminemia (nilai kadar albumin dalam darah < 2,5 gram/100 ml). Pada SN ternyata katabolisme protein meningkat akibat katabolisme protein yang terjadi di tubuh ginjal. Peningkatan katabolisme in merupakan factor tambahan terjadinya hipoalbuminemia selain dari proteinuria (albuminuria). Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteinemia. Pada umumnya edema anasarka terjadi bila kadar albumin darah < 2 gram/100 ml, dan syok hipovolemia terjadi biasanya pada kadar < 1 gram/100 ml. (Betz, 2002)
3.         Pemeriksaan Diagnostik
a.         Rontgen dada bisa menunjukkan adanya cairan yang berlebihan.
b.        USG ginjal dan CT Scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutan ginjal.
c.         Biopsi ginjal bisa menunjukkan salah satu bentuk glomerulonefritis kronis atau pembentukkan jaringan parut yang tidak spesifik pada glomeruli. (Betz, 2002)

F.       Penatalaksanaan
1.      Penatalaksanaan Medis
Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk mengurangi atau menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia, mencegah dan mengatasi komplikasinya, yaitu:
a.         Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari.
b.        Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 – 4 gram/kgBB/hari, dengan garam minimal bila edema masih berat. Bila edema berkurang dapat diberi garam sedikit.
c.         Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan hididroklortiazid (25-50 mg/hari) selama pengobatan diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan cairan intravaskuler berat.
d.        Dengan antibiotik bila ada infeksi.
e.         Diuretikum
f.          Kortikosteroid
International Cooperative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) mengajukan cara pengobatan sebagai berikut :
1)        Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas permukaan badan (lpb) dengan maksimum 80 mg/hari.
2)        Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40 mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respons, maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.
3)        Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30 mg, 20 mg, 10 mg sampai akhirnya dihentikan.
g.        Lain-lain
Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada gagal jantung, diberikan digitalis. (Behrman, 2000)
2.      Penatalaksanaan Keperawatan
Pasien sindroma nefrotik perlu dirawat di rumah sakit, karena memerlukan pengawasan dan pengobatan yang khusus. Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah edema yang berat (anasarka), diet, resiko komplikasi, pengawasan mengenai pengobatan atau gangguan rasa  aman dan nyaman, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit pasien.
Pasien sindroma nefrotik dengan anasarka perlu istirahat di tempat tidur, karena dengan keadaan edema yang berat menyebabkan pasien kehilangan kemampuannya untuk bergerak. Selama edema masih berat semua keperluan harus ditolong di atas tempat tidur.
a.         Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di rongga thoraks akan menyebabkan sesak nafas.
b.        Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal diletakkan memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan lebih rendah dan akan menyebabkan edema hebat).
c.         Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum untuk mencegah pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah terjadi keadaan skrotum akhirnya pecah dan menjadi penyebab kematian pasien).
Bila edema telah berkurang diperbolehkan pasien melakukan kegiatan sesuai kemampuannya, tetapi tetap didampingi atau dibantu oleh keluarga atau perawat dan pasien tidak boleh kelelahan. Untuk mengetahui berkurangnya edema pasien perlu ditimbang setiap hari, di ukur lingkar perut pasien. Selain itu perawatan pasien dengan sindroma nefrotik, perlu dilakukan pencatatan masukan dan pengeluaran cairan selama 24 jam. Pada pasien dengan sindroma nefrotik diberikan diet rendah protein yaitu 1,2-2,0 gram/kgBB/hari dan cukup kalori yaitu 35 kal/kgBB/hari serta rendah garam (1 gram/hari). Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan pasien, bisa makanan biasa atau lunak. (Ngastiyah, 2005)
Pasien dengan sindroma nefrotik mengalami penurunan daya tahan tubuh yang mengakibatkan mudah terkena infeksi. Komplikasi pada kulit akibat infeksi streptococcus dapat terjadi. Untuk mencegah infeksi tersebut, kebersihan kulit perlu diperhatikan dan alat-alat tenun atau pakaian pasien harus bersih dan kering. Antibiotik diberikan jika ada infeksi, dan diberikan pada waktu yang sama. Jika pasien diperbolehkan pulang, orang tua pasien perlu diberikan penjelasan bagaimana merawat anak yang menderita penyakit sindroma nefrotik. Pasien sendiri perlu juga diterangkan aktivitas apa yang perlu dilakukan dan kepatuhan tentang dietnya masih perlu diteruskan sampai pada saatnya dokter mengizinkan bebas diet. Memberikan penjelasan pada keluarga bahwa penyakit ini sering kambuh atau berubah menjadi lebih berat jika tidak terkontrol secara teratur, oleh karena itu orang tua atau pasien dianjurkan kontrol sesuai waktu yang ditentukan (biasanya 1 bulan sekali). (Ngastiyah, 2005)

G.      Komplikasi
1.         Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia.
2.         Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.
3.          Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma.
4.         Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal. (Rauf, .2002)

















BAB III
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A.      Pengkajian
1.         Pengkajian Anamnesa
a.       Identitas
b.      Keluhan utama yang sering dikeluhkan wajah atau kaki.
c.       Pada pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawat menanyakan hal berikut :
1.      Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output.
2.      Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai dengan  adanya keluhan pusing dan cepat lelah.
3.      Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise.
d.      Pada pengkajian riwayat kesehatan dahulu, perawat perlu mengkaji apakah klien pernah menderita penyakit edema, apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya. Penting dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
e.       Pada pengkajian psikososiokultural, adanya kelemahan fisik, wajah, dan kaki yang bengkak akan memberikan dampak rasa cemas dan koping yang maladaptif pada klien.
f.        Riwayat kehamilan dan persalinan
1.      Prenatal
Keadaan dimana ibu memeriksakan kandungannya selama mengandung dan asupan nutrisi selama kehamilan.
2.      Natal
Proses persalinan pada saat dilahirkan, serta kondisi bayi saat dilahirkan.

3.      Postnatal
Asupan nutrisi yang diperoleh saat dilahirkan hingga dewasa.
4.      Imunisasi
BCG 1 kali, DPT 3 kali, polio 3 kali, campak 1 kali
g.      Riwayat kesehatan lingkungan
Endemik malaria sering terjadi kasus sindroma nefrotik.
h.      Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
Berat badan = umur (tahun) X 2 + 8. Tinggi badan = 2 kali tinggi badan lahir.
Perkembangan psikoseksual : anak berada pada fase oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, senang bermain dengan anak berjenis kelamin beda, oedipus kompleks untuk anak laki-laki lebih dekat dengan ibu, elektra kompleks untuk anak perempuan lebih dekat dengan ayah.
Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre school (inisiative vs rasa bersalah) yaitu memiliki inisiatif untuk belajar mencari pengalaman baru. Jika usahanya diomeli atau dicela anak akan merasa bersalah dan menjadi anak peragu.
Perkembangan kognitif : masuk tahap pre operasional yaitu mulai mempresentasekan dunia dengan bahasa, bermain dan meniru, menggunakan alat-alat sederhana.
Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari, menggambar orang dengan kepala, lengan dan badan, segiempat, segitiga, menghitung jari-jarinya, menyebut hari dalam seminggu, protes bila dilarang, mengenal empat warna, membedakan besar dan kecil, meniru aktivitas orang dewasa.
Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka, gangguan tidur, kecemasan, keterbatasan dalam bermain, rewel, gelisah, regresi, perasaan berpisah dari orang tua, teman.
2.         Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien lemah dan terlihat sakit berat dengan tingkat kesadaran biasanya compos mentis. Pada TTV sering tidak didapatkan adanya perubahan.
B1 (Breating). Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola nafas dan jalan napas walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut. Pada fase lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan respons terhadap edema pulmoner dan efusi pleura.
B2 (Blood). Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari peningkatan beban volume.
B3 (Brain). Didapatkan edema wajah terutama periorbital, sklera tidak ikterik. Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya azotemia pada sistem saraf pusat.
B5 (Bowel). Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan. Didapatkan asites pada abdomen
B6 (Bone). Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder dari edema tungkai dari keletihan fisik secara umum.
3.         Pengkajian Diagnostik
Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik, proteinuria, terutama albumin. Keadaan ini juga terjadi akibat meningkatnya permeabilitas membaran glomerulus.

4.         Pengkajian Penatalaksanaan Medis
Tujuan terapi adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal lebih lanjut dan menurunkan risiko komplikasi. Untuk mencapai tujuan terapi, maka penatalaksanaan tersebut meliputi hal-hal berikut :
a.         Tirah baring
Untuk mengatasi penyulit, pada stadium oedem, ada hipertensi, ada bahaya trombosis, apabila relaps.
b.        Diuretik
Diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB/dosis 2-4 kali sehari.
c.         Adenokortikosteroid, golongan prednison
Induksi : 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 4 minggu (maksimal 80 mg/24 jam). Bila terjadi remisi : 2 mg/kgBB/24 jam dosis tunggal tiap pagi, tiap 48 jam sekali selama 4 minggu. Tapering off dosis dikurangi 0,5 mg/kgBB setiap 2 minggu, selama 2-4 bulan.
d.        Diet rendah natrium tinggi protein
Tinggi protein dan rendah garam (pada stadium oedem dan selama pemberian kortikosteroid. Cairan dibatasi. Pemberian kalsium dan vitamin D.
e.         Terapi cairan
Jika klien dirawat di rumah sakit, maka intake dan output diukur secara cermat dan dicatat. Cairan diberikan untuk mengatasi kehilangan cairan dan berat badan harian.

B.       Diagnosa Keperawatan
1.         Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan volume urine, retensi cairan dan natrium.
2.         Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrien.
3.         Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, kontrol dan atau massa.
4.         Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

C.      Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
1.    Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan volume urine, retensi cairan dan natrium.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x24 jam kelebihan cairan teratasi dengan kriteria hasil :
v   Terbebas dari edema, efusi, anaskara
v  Bunyi nafas bersih, tidak ada dyspneu/ortopneu
v  Terbebas dari distensi vena jugularis
v  Memelihara tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru, output jantung dan vital sign
v  Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau bingung
1.      Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
2.      Pasang urin kateter jika diperlukan
3.      Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN, Hmt, osmolalitas urin)
4.      Monitor vital sign
5.      Monitor indikasi retensi/kelebihan cairan (cracles, CVP, edema, distensi vena leher, asites)
6.      Kaji lokasi dan luas edema
7.      Monitor masukan makanan/cairan
8.      Monitor status nutrisi
9.      Monitor berat badan
10.  Monitor elektrolit
11.  Monitor tanda dan gejala dari odema.
2.      Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengabsorpsi nutrien.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x24 jam nutrisi kurang teratasi dengan indikator :
v  Albumin serum
v  Pre albumin serum
v  Hematrokit
v  Hemaglobin
v  Total iron binding capacity
v  Jumlah limfosit
1.      Kaji adanya alergi makanan
2.      Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
3.      Monitor adanya penurunan BB gula darah
4.      Monitor turgor kulit
5.      Monitor kekringan, rambut kusam, total protein, Hb dan kadar Ht
6.      Monitor mual dan muntah
7.      Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan konjungtiva
8.      Monitor intake nutrisi
9.      Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti NGT/TPN sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan
10.  Informasikan kepada klien dan nutkeluarga tentang manfaat nutrisi
3.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, kontrol dan atau massa.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x24 jam  gangguan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil :
v  Klien meningkat dalam aktivitas fisik
v  Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
v  Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi (walker)
1.      Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
2.      Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADL secara mandiri sesuai kemampuan
3.      Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADL pasien
4.      Rencanakan dan sediakan aktivitas secara bertahap
5.      Anjurkan keluarga untuk membantu aktivitas pasien

4.      Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x24 jam kecemasan klien teratasi dengan kriteria hasil :
v  Klien mampu mengidentifikasi dan mengunkapkan gejala cemas
v  Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontrol cemas
v  Vital sign dalam batas normal
v  Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan
1.      Gunakan pendekatan yang menenangkan
2.      Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
3.      Identifikasi tingkat kecemasan
4.      Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
5.      Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan

D.      Evaluasi
1.         Kelebihan volume cairan dapat teratasi
2.         Meningkatnya asupan nutrisi
3.         Peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari
4.         Penurunan kecemasan




BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Nephrotic Syndrome adalah merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hypoproteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema. (Suriadi, 2006)
Sindroma nefrotik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema. Sindrom ini dapat terjadi karena adanya faktor yang menyebabkan premeabilitas glomerulus. (Hidayat, A.Aziz, 2006)
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Umumnya etiologi dibagi menjadi :
1.         Sindrom nefrotik bawaan
2.         Sindrom nefrotik sekunder
3.         Sindrom nefrotik idiopatik
4.         Glomerulosklerosis fokal segmental

B.       Saran
1.         Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang pembaca, terutama mahasiswa keperawatan
2.         Semoga dapat menjadi bahan acuan pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan.
3.         Semoga makalah ini dapat menjadi pokok bahasan dalam berbagai diskusi dan forum terbuka.



DAFTAR PUSTAKA


Behrman, R.E. MD, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi 15. Jakarta: EGC

Betz, Cecily Lynn. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta: EGC

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika

Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC

Rauf, Syarifuddin. 2002. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK UH : Makassar

Suriadi .2006. Asuhan Keperawatan Anak Edisi 2. Jakarta: CV Sagung