LEGENDA TELAGA BIDADARI
Daerah itu
dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri dan
tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena
itu, ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling.
Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.
Awang Sukma
sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-burung
datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak dengan
melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi getah
itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung
hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta,
semakin erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah
bersama bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke
dalam keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon
itulah sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu
Pulut.
Akan tetapi,
pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan tidak ada
seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang merekah.
“Heran,” ujar
Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-burung tidak
mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil berbaring di
rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui tiupan
sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena.
Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan
lantunan irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak
terobati. Konon, Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang Sukma
terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai rambutnya
membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling itu
tergeletak di sisinya. Ia tertidur.
Entah berapa lama ia terbuai
mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara hiruk pikuk sayap-sayap
yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya. Matanya diusap-usap.
Ternyata, ada
tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju telaga. Tidak
lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-semburan
air.
“Aku ingin
melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat untuk
mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.

Puas
bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi
telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga
tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang
putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari
buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai (lumbung
tempat menyimpan padi).
Ketika
ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di
antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat
mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan
paling cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.
Kebingungan, ketakutan, dan rasa
kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu, Awang Sukma keluar dari
tempat persembunyiannya.
“Tuan Putri
jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama
hamba.”
Tidak ada alasan bagi putri
bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang Sukma.
Awang Sukma
merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya. Putri bungsu
pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat serasi, antara
ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam ikatan
cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama
Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.
Rupanya memang sudah adat dunia,
tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini. Apa yang disembunyikan Awang
Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu,
Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya
duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu,
seekor ayam hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di
permukaan lumbung sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.
Putri bungsu memburunya. Tidak
sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas kaisan ayam hitam tadi. Putri
bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya. Betapa kaget hatinya
setelah melihat isi bumbung itu.
“Ternyata,
suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang bersama
kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.
Perasaan putri bungsu berkecamuk
sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas, kesal, tertipu, marah, dan sedih.
Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada suaminya. “Aku harus kembali,” katanya
dalam hati. Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia
menggendong putrinya yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium
putrinya sepuas-puasnya sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu
dan anak itu membuat Awang Sukma terjaga.
Awang Sukma
terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung tempat
menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat
perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.
“Adinda harus
kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika ia
merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul.
Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu denganngan
suling Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa
meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya.
Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak
mungkin bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada
Kumalasari, putrinya.
Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya.
Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya.
Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi
nama Telaga Bidadari, terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk
wilayah Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota
Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan.
Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang.
Selain itu, tidak ada penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah
Awang Sukma yang bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar