Tugas Bahasa Indonesia "Sinopsis Novel Tahun 20-30an
Novel angkatan 20-30an
atau disebut juga Novel Angkatan Balai Pustaka menjadi salah satu materi yang
dibahas di kelas 9 semester 2 (kalo gak salah sih..).
langsung aja aku share beberapa sinopsisnya ya...
langsung aja aku share beberapa sinopsisnya ya...
1. Anak dan Kemenakan
Judul Novel : Anak dan Kemenakan
Pengarang : Marah Rusli
Penerbit : Balai
Pustaka
Cetakan : Cetakan
Pertama Tahun 1956
Tebal Buku : 332
Halaman
Mr.
Muhammad Yatim, dr.Aziz, Puti Bidasari, dan Sitti Nurmala adalah empat orang
yang sudah menjalin persahabatan dari kecil, mereka semua berasal dari keluarga
bangsawan. Selain hubungan persahabtan, diantara kedua pasangan anak muda itu
juga terjalin hubungan antara kekasih. Mr. Muhammad Yatim mencintai Puti
Bidasari, yang merupakan adik angkatnya dan dibesarkan dalam satu keluarga
yaitu keluarga Sutan Alamsyah dan istrinya Sitti Maryam. Sedangkan Sitti
Nurmala menjalin hubungan dengan dr.Aziz. Sitti Nurmala merupakan putri dari
saudagar kaya di Padang yaitu Baginda Mais dan istinya Upik Bunngsu.
Sutan
Alamsyah Hopjaksa sangat bahagia atas kedatangan anaknya Mr. Yatim dari negeri
Belanda yang sudah menyelesaikan sekolahnya sebagai Hakim Tinggi sehingga dia
mendapat gelar Master Doktor, yang pada saat itu adalah gelar tertinggi di
Padang, dan hanya Mr. Yatim yang mendapat gelar tersebut.
Sutan
Alamsyah Hopjaksa ingin mempersandingkan anaknya Mr. yatim dengan keponakannya
Puti Bidasari yang merupakan anak kakak perempuannya yaitu Putri Renosari dan
Sutan Baheram, tapi lamaran Sutan Alamsyah ditolak, karena mereka tahu
asal-usul Mr. Yatim yang bukan anak kandung Sutan Alamsyah. Mereka kira Mr.
Yatim adalah anak tukang pedati yang miskin, meskipun dibesarkan dan diangkat
anak oleh Sutan Alamsyah bahkan sampai disekolahkan dan mendapat gelar Mester
Doktor di Negeri Belanda.
Adat
tetap adat dan selalu membelenggu, mengukung dan membagi dalam tingkat
kehidupan masyarakat, seperti halnya Putri Renosari yang ingin menikahkan
anaknya dengan seorang bangsawan lagi. Bidasari akan dikawinkan dengan turunan
bangsawan tinggi Sutan Malik, kemenakan Sutan Pamenan yang gemar berjudi dan
menyabung ayam. Biaya pernikahan Puti Bidasari dengan Sutan Malik ditanggung
oleh Baginda Mais yang merasa diuntungkan dengan pernikahan Puti Bidasari dan
Sutan Malik, karena kesempatan untuk menikahkan putrinya Sitti Nurmala dengan
Mr. Yatim terbuka lebar. Akankah Mr. Yatim menikah dengan Bidasari ataukah akan
bersanding dengan Sitti Nurmala sebagaimana permintaan ayah angkatnya Sutan
Alamsyah, sedangkan Sitti Nurmala adalah kekasih dr. Aziz yang merupakan
sahabat karibnya dari kecil.
2.
Azab dan Sengsara
Judul Novel : Azab dan
Sengsara
Penulis : Merari
Siregar
Di
kota Siporok, hidup seorang bangsawan kaya raya yg memiliki seorang anak
laki-laki dan seorang perempuan . Anaknya yg laki2 bernama Sutan
Baringin. Dia sangat dimanja oleh ibunya. Segala kehendaknya selalu dituruti
dan segala kesalahannya pun selalu dibela ibunya. Akibatnya, setelah dewasa,
Baringin tumbuh menjadi seorang pemuda yg angkuh, berperangai jelek, serta suka
berfoya-foya.
Oleh
kedua orangtuanya, Sutan Baringin dinikahkan dengan Nuria, seorang perempuan
baik-baik pilihan ibunya. Walaupun telah berkeluarga, Sutan Baringin masih
tetap suka berfoya-foya menghabiskan harta benda kedua orangtuanya. Dia berjudi
dg Marah Said, seorang prokol bambu sahabat karibnya. Sewaktu ayahnya
meninggal, sifat Sutan Baringin semakin menjadi, maskin suka berfoya-foya
menghabiskan harta warisan orangtuanya. Akhirnya, dia bangkrut dan utangnya
sangat banyak.
Dari
perkawinannya dengan Nuria, Sutan Baringin mempunyai dua orang anak. Yang satu
perempuan bernama Mariamin, sedangkan yg satunya lagi laki-laki (yg laki2 tidak
diceritakan pengarang). Akibat tingkah laku ayahnya, Mariamin selalu dihina
oleh warga kampungnya akibat kemiskinan orangtuanya. Cinta kasih perempuan yg
berbudi luhur ini dengan pemuda bernama Aminuddin terhalang oleh dinding
kemiskinan orangtuanya.
Aminuddin
adalah anak Bagianda Diatas, yaitu seorang bangsawan kaya-raya yg sangat
disegani di daerah Siporok. Sebenarnya Baginda Diatas masih mempunyai hubungan
sepupu dengan Sutan Baringin, ayah Mariamin. Ayah Baginda keduanya adalah kakak
beradik.
Sejak
kecil, Aminuddin bersahabat dg Mariamin. Setelah keduanya beranjak dewasa,
mereka saling jatuh hati. Aminuddin sangat mencintai Mariamin. Dia berjanji
untuk melamar Mariamin bila dia telah mendapatkan pekerjaan. Keadaan Mariamin
yg miskin tidak menjadi masalah bagi Aminuddin.
Aminuddin
memberitahukan niatnya utk menikahi Mariamin kepada kedua orangtuanya. Ibunya
tidak merasa keberatan dengan niat tersebut. Dia benar2 mengenal pula
keluarganya. Keluarga Mariamin masih keluarga mereka juga sebab ayah Baginda
Diatas, suami ibu Aminuddin, dengan Sutan Baringin, ayah Mariamin, adalah kakak
beradik. Selain itu, dia juga merasa iba terhadap keluarga Mariamin yg miskin.
Bila menikah dg anaknya, dia mengharapkan agar keadaan ekonomi Mariamin bisa
terangkat lagi.
Ayah
Aminuddin, Baginda Diatas, tidak setuju dg niat anaknya menikahi Mariamin. Jika
pernikahan itu terjadi, dia merasa malu sebab dia merupakan keluarga terpandang
dan kaya-raya, sedangkan keluarga Mariamin hanya keluarga miskin. Namun,
ketidaksetujuannya tsb tidak diperlihatkan kepada istri dan anaknya.
Dengan
cara halus, Baginda Diatas berusaha menggagalkan pernikahan anaknya. Salah satu
usahanya adalah mengajak istrinya menemui seorang peramal. Sebelumnya dia telah
menitipkan pesan kepada peramal agar memberikan jawaban yg merugikan pihak
Mariamin. Jelasnya, sang peramal memberikan jawaban bahwa Aminuddin tidak akan
beruntung jika menikah dg Mariamin.
Setelah
mendengar jawaban dr peramal tersebut, ibu Aminuddin tdk bs berbuat banyak. Dg
terpaksa, dia menuruti kehendak suaminya utk menvarikan jodoh yg sesuai utk
Aminuddin. Mereka langsung melamar seorang perempuan dari keluarga berada. Oleh
karena Aminuddin sedang berada di Medan, mencari pekerjaan, Baginda Diatas
mengirim telegram yg isinya meminta Aminuddin menjemput calon istri dan
keluarganya di stasiun kereta api Medan.
Menerima
telegram tsb, Aminuddin mersasa sangat gembira. Dlm hatinya telah terbayang
wajah Mariamin. Ia mengira bahwa calon istri yg akan dia jemput adalah
Mariamin. Namun setelah mengetahui bahwa calon istrinya itu bukanlah Mariamin,
hatinya menjadi hancur. Tapi sebagai anak yg berbakti terhadap orangtuanya,
dengan terpaksa ia menikahi perempuan pilihan orangtuanya itu. Aminuddin segera
memberitahukan kenyataan itu kepada Mariamin.
Mendengar
berita itu, Mariamin sangat sedih dan menderita. Dia langsung pingsan tak
sadarkan diri. Tak lama kemudian, dia pun jatuh sakit. Stahun setelah kejadian
itu, Mariamindan ibunya terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang kerani di
Medan. Pada waktu itu, Kasibun mengaku belum mempunyai istri. Mariamin pun
akhirnya diboyong ke Medan.
Sesampainya
di Medan, terbuktilah siapa sebenarnya Kasibun. Dia hanyalah seorang lelaki
hidung belang. Sebelum menikah dg Mariamin, dia telah mempunyai istri, yg dia
ceraikan karena hendak menikah dg Mariamin. Hati Mariamin sangat terpukul
mengetahui kenyataan itu. Namun, sebagai istri yg taat beragama, walaupun dia
membenci dan tidak mencintai suaminya, dia tetap berbakti kepada suaminya.
Perlakuan
kasar Kasibun terhadap Mariamin semakin menjadi setelah Aminuddin mengunjungi
rumah mereka. Dia sangat cemburu pada Aminuddin. Menurutnya, penyambutan
istrinya terhadap Aminuddin sangat di luar batas. Padahal, Mariamin menyambut
Aminuddin dg cara yg wajar. Namun, karena cemburunya yg sangat berlebihan,
Kasibun menganggap Mariamin telah memperlakukan Aminuddin secara
berlebih-lebihan. Akibatnya, dia terus-menerus menyiksa Mariamin.Perlakuan
Kasibun yg kasar kepadanya, membuat Mariamin hilang kesabaran. Dia tidak tahan
lagi hidup menderita serta disiksa setiap hari. Akhirnya, dia melaporkan
perbuatan suaminya kepada kepolisian Medan. Dia langsung meminta cerai. Permintaan
cerainya dikabulkan oleh pengadilan agama di Padang.
Setelah
resmi bercerai dg Kasibun, dia kembali ke kampung halamnannya dengan penuh
kehancuran. Hancurlah jiwa dan raganya. Kesengsaraan dan penderitaan secara
batin maupun fisiknya terus mendera dirinya dari kecil hingga dia meninggal
dunia. Sungguh tragis nasibnya.
3.
Katak Hendak jadi Lembu
Judul : Katak Hendak
Jadi Lembu
Pengarang : N. St.
Iskandar
Terbitan : 1935
Halaman : 176 halaman
Cetakan : Kesebelas,
1995
Suria
adalah seorang Manteri Kabupaten yang sangat angkuh. Ia sangat sombong dan gila
hormat. Istirinya, Zubaidah sudah tak tahan tinggal dengan suaminya itu. Suria
senang berfoya-foya. Itu pun dari uang Ayahnya Zubaidah, Hj. Hasbulah.
Sebenarnya, Hj.Hasbulah ingin menikahkan anaknya itu kepada Raden Prawira, anak
jaksa kepala. Tetapi, tiba-tiba Hj. Zakaria, ayah Suria memohon untuk
menikahkan anaknya dengan anak Hj. Hasbulah. Karena Hj. Zakaria adalah
sahabatnya, ia tak ingin membuat sahabatnya putus harapan, lalu ia kabulkan permintaan
Hj. Zakaria. Zubaidah dulu, hanyalah gadis penurut. Ia menurut untuk di
nikahkan oleh Suria.
Tetapi,
pernikahan itu tidak membawakan kebahagiaan untuk Zubaidah. Setelah menikah,
mereka di karuniai anak laki-laki bernama Abdulhalim, tetapi Suria meninggalkannya
begitu saja. Ia meninggalakan mereka berdua selama 3 tahun. Setelah 3 tahun
lamanya itu, Suria kembali kepada Zubaidah, hanya untuk meminta hartanya Hj.
Hasbulah. Hingga kini, kehidupan rumah tangga Suria dan Zubaidah selalu di
bantu oleh ayah Zubaidah. Walaupun Suria sudah berpenghasilan, dan menjabat
Manteri Kabupaten.
Kini
Suria sudah di karuniai 3 anak. Tetapi, ia sama sekali tidak punya perhatian
kepada keluarganya tersebut. Gajinya saja di pakai untuk hal yang tidak perlu.
Urusan rumah tangganya pun di serahkan kepada Zubaidah. Suria hanya
mengandalkan uang kiriman mertuanya. Zubaidah malu dengan hal itu, dan mulai
berhemat dengan hanya mempergunakan gaji suaminya itu. Tetapi, Suria tidak
peduli dengan perbuatan istrinya, ia tetap berfoya-foya.
Di kantornya, ia pun angkuh dan sombong. Ia senang memerintah para pesuruh dengan seenaknya. Semua orang menghormati dia. Patih, Raden Atmadi Nata pun tau akan hal ini. Walaupun ia tau akan hal ini, tetapi ia tidak terlalu memikirkannya, karena Suria bekerja dengan baik. Di kantornya, Suria tidak pernah suka dengan anak emasnya patih, yang magang menjadi juru tulis. Raden Muhamad Kosim. Ia sering berlaku tidak sepatutnya kepada Kosim itu.
Suria pernah di undang oleh Hj.Junaedi ke rumahnya yang besar. Hj.Junaedi menyambutnya penuh sukacita. Tapi, setelah ia tahu bahwa Suria yang gila hormat itu, dan sering menjelekan Kosim. Ia pun menjadi sebal dengan Suria.
Di kantornya, ia pun angkuh dan sombong. Ia senang memerintah para pesuruh dengan seenaknya. Semua orang menghormati dia. Patih, Raden Atmadi Nata pun tau akan hal ini. Walaupun ia tau akan hal ini, tetapi ia tidak terlalu memikirkannya, karena Suria bekerja dengan baik. Di kantornya, Suria tidak pernah suka dengan anak emasnya patih, yang magang menjadi juru tulis. Raden Muhamad Kosim. Ia sering berlaku tidak sepatutnya kepada Kosim itu.
Suria pernah di undang oleh Hj.Junaedi ke rumahnya yang besar. Hj.Junaedi menyambutnya penuh sukacita. Tapi, setelah ia tahu bahwa Suria yang gila hormat itu, dan sering menjelekan Kosim. Ia pun menjadi sebal dengan Suria.
Karena
Suria senang berfoya-foya. Akhirnya kebutuhan rumah tangga menjadi semakin
tidak terpenuhi. Zubaidah telah memperingatkan Suria untuk berlaku, hemat.
Tetapi, tetap saja tidak di hiraukannya. Ia mengatakan, bahwa kebutuhan rumah
tangga bisa di dapat dari mertuanya, tapi sayang. Mertuanya itu sedang dalam
keadaan tak punya uang. Walaupun sudah di paksa, tetap saja ia tak mau, dan
akhirnya Suria memilih untuk menjadi Klerk yang gajinya lebih besar.
Ia
pun merayakan, jabatannya yang akan berubah dari Manteri Kabupaten, menjadi
Klerk. Ia membeli barang yang tidak perlu, karena ia berpikir. Bahwa gaji Klerk
nant i akan memenuhi kebutuhannya.
Setelah
menunggu beberapa minggu tentang hasil surat yang di berikan Suria untuk
mengubah pekerjaannya, ternyata hasilnya adalah nihil. Suria tidak menjadi
Klerk, dan yang menjadi Klerk adalah Kosim. Betapa malunya ia saat itu.
Setelah
tahu, bahwa ia tak menjadi Klerk. Hutangnya semakin bertumpuk. Karena
barang-barang yang tidak di perlukan itu adalah barang kreditan. Para penagih
hutang terus menerornya. Akhirnya ia menyerah, dan meminta bantuan kepada
sahabat-sahabatnya. Tetapi, tak ada yang mau menolongnya. Akhirnya, ia memakai
uang kas pemerintah untuk menutupi hutangnya. Karena hal itu, Suria
memberhentikan diri.
Suria
memilih tinggal bersama Abdulhalim, yang sudah menjadi amtenar di Bandung. Padahal
Zubaidah tidak ingin menyusahkan anak sulungnya itu. Ia lebih baik tinggal
bersama orang tuanya di Tasik. Tetapi, keras kepala Suria yang sudah di
berhentikan dari jabatannya tetap saja tak mau mengalah. Akhirnya mereka pindah
dari Sumedang ke Bandung tanpa meninggalkan hutang sedikit pun.
Walaupun
sudah tinggal menumpang, Suria tetap saja bersikap angkuh dan merasa ia berada
di rumahnya sendiri. Seenaknya menyuruh orang, dan mendapat uang pula. Itu pun
uang anaknya sendiri, yang sudah berumah tangga bersama anak kepala jaksa,
Sutilah.
Kelakuan Suria semakin menjadi-jadi, hingga akhirnya istirnya meninggal. Abdulhalim yang tak tahan dengan kelakuan ayahnya itupun, mengusir Suria. Suria pun yang merasa sudah terhina, meninggalkan anaknya itu. Ia merantau ke Jakarta, dan akhirnya ia kembali pulang ke rumah orang tuanya di desa Rajapolah. Disana ia tinggal bersama Mak Iyah, ibunya. Tetapi, setelah beberapa hari ia tinggal. Ia pergi dan tak kembali lagi. Ia pergi entah kemana.
Kelakuan Suria semakin menjadi-jadi, hingga akhirnya istirnya meninggal. Abdulhalim yang tak tahan dengan kelakuan ayahnya itupun, mengusir Suria. Suria pun yang merasa sudah terhina, meninggalkan anaknya itu. Ia merantau ke Jakarta, dan akhirnya ia kembali pulang ke rumah orang tuanya di desa Rajapolah. Disana ia tinggal bersama Mak Iyah, ibunya. Tetapi, setelah beberapa hari ia tinggal. Ia pergi dan tak kembali lagi. Ia pergi entah kemana.
4.
La Hami
Judul buku : La Hami
Pengarang : Marah Rusli
Penerbit : Balai
Pustaka
La Hami
La
Hami merupakan novel angkatan Balai Pustaka, terbit pada tahun 1953 oleh Balai
Pustaka, dan dikarang Marah Rusli. Marah Rusli lahir pada tanggal 7 Agustus
1889 di Padang, Sumatra barat dengan nama lengkap Marah Halim bin Sutan Abu
Bakar. Buku ini merupakan karya sastra lama yang menceritakan tentang kehidupan
di Pulau Sumbawa.
Resensi ini ditulis
untuk mendalami budaya Indonesia dari novel-novel karya sastra. dalam buku ini
terkisah seorang anak Raja yang diculik dan di buang oleh Juru Bicara Kerajaan
yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Sang Raja; dengan tujuan jika sang
raja tidak memiliki putra mahkota maka kedudukan raja akan di serahkan pada
Juru Bicara Raja tersebut.
“Dua puluh empat tahun lalu, yang menjadi datu rangga di Negeri Sumbawa, ialah RAJA Anjong, sedang Garahanya bernama Putri Nakia. Keduanya dipandang dan dimalui, disegani dan disayangi orang seluruh kerajaan Sumbawa, sampai kepada Rajanya Sultan Badrunsyah. Sebabnya bukan saja karena bangsawan tinggi, tetapi juga karena Raja Anjong seorang yang pandai memangku bumi, adil dan bijaksana dalam putusannya, serta mempunyai kepandaian yang dalam.
“Dua puluh empat tahun lalu, yang menjadi datu rangga di Negeri Sumbawa, ialah RAJA Anjong, sedang Garahanya bernama Putri Nakia. Keduanya dipandang dan dimalui, disegani dan disayangi orang seluruh kerajaan Sumbawa, sampai kepada Rajanya Sultan Badrunsyah. Sebabnya bukan saja karena bangsawan tinggi, tetapi juga karena Raja Anjong seorang yang pandai memangku bumi, adil dan bijaksana dalam putusannya, serta mempunyai kepandaian yang dalam.
Datu
Kalibela yang bernama Daeng Matita, adalah seorang bangsawan yang berasal dari
pulau selayar. Datu Kalibela ini adalah seorang yang loba dan tamak kepada
harta dan pangkat serta kekuasaan.
Pada
suatu hari, datanglah seorang nelayan yang bernama Genang kepada Raja Anjong,
membawa kabar, bawha Ponto Wanike hendak menyerang kota Sumbawa, karena hendak
menangkap Raja Anjong. Kabar ini didengar sendiri oleh oleh Genang dari seorang
kaum bajak Ponto Wanike, yang dikenalnya benar, tatkala ia memancing ikan di
Teluk Saleh.
Beberapa hari sebelum Sumbawa akan diserang, ditinggalkannyalah kota ini dengan Garahanya dan dua orang bujangnya yang sangat setia kepadanya, dengan membawa apa yang sangat perlu saja baginya, dalam perahu kecil. Berangkatlah mereka jam sepuluh malam dengan penerangan cukup dari sinar bintang. Dua hari dua malam mereka berlayar; siang hari memakai layar kecil dan malam hari berdayung, jika tak ada angin turutan. Akhirnya sampailah mereka di panti sanggar ini, di mana mereka telah dua puluh tahun hidup tersekat dari manusia dan masyarakat ramai. Supaya rahasia ini jangan diketahui orang, ditukar merekalah namanya dengan Ompu Keli dan Ina Rinda.” Terang Ompu Keli pada La Hami.
Beberapa hari sebelum Sumbawa akan diserang, ditinggalkannyalah kota ini dengan Garahanya dan dua orang bujangnya yang sangat setia kepadanya, dengan membawa apa yang sangat perlu saja baginya, dalam perahu kecil. Berangkatlah mereka jam sepuluh malam dengan penerangan cukup dari sinar bintang. Dua hari dua malam mereka berlayar; siang hari memakai layar kecil dan malam hari berdayung, jika tak ada angin turutan. Akhirnya sampailah mereka di panti sanggar ini, di mana mereka telah dua puluh tahun hidup tersekat dari manusia dan masyarakat ramai. Supaya rahasia ini jangan diketahui orang, ditukar merekalah namanya dengan Ompu Keli dan Ina Rinda.” Terang Ompu Keli pada La Hami.
Di
sini Ompu Keli terdiam beberapa lamanya, sebagai melintas kembali sekalian
peristiwa yang menyedihkan itu, pun Ina Rinda mengenangkan nasibnya yang
malang.
“Jika demikian, dewalah Raja Anjong, datu Rangga Sumbawa itu dan dewa, Putri Nakia, Garaha Mangkubumi kerajaan Sumbawa,” kata La Hami kepada Kedua orang tuanya, “Alangkah malangnya dewa Kedua, karena fitnah dan kejahatan Daeng Matita.”
“Belum lama kami ada di sini, pada suatu pagi tatkala aku ke pantai hendak mengail ikan, tiba-tiba terdengar oleh ku suara anak mengeak. Hatiku berdebar, karena suara yang sedemikian, sekali-kali tidak kusangka akan kudengar di sini. Selayang timbul takhyulku, yang menyangka suara itu bukan suara manusia, tetapi suara jin laut, yang hendak memperdayakan daku. Tetapi setelah teringat pula olehku, bahwa takhyul hanya ada dalam pikiran dan perasaan yang samar, kuperiksalah tempat itu dengan seksamanya. Ya, dalam suatu teluk kecil, kelihatan sebuah rakit yang terapung di atas air dan di atasnya ada seorang bayi, yang sedang menangis. Ia terbaring di atas sehelai tikar Jontal yang baik anyamannya dan diselimuti kain sutera bertekad emas, buatan Bima. Tatkala kuangkat bayi ini, nyatalah ia seorang anak laki-laki, yang baik parasnya dan tegap tubuhnya. Dokoh yang tergantung pada lehernya, terbuat dari emas yang sangat halus tempanya. Dokoh, selimut dan tilam ini, yang baik buatannya dan mahal harganya, menimbulkan keyakinan dalam hatiku, bahwa kanak-kanak ini bukan anak sembarang orang, tetapi anak orang baik juga; kalau bukan anak orang yang berpangkat tinggi, mungkin anak Raja-Raja. Lalu kubawa bayi ini kepada Ibumu, yang menerimanya dengan berlinang-linang air matanya, karena kesukaan dan kepiluan. Sekali.” terang Ompu Keli hal ihwal asal La Hami.
“Dan tahukah engkau siapa nama yang kami berikan kepada anak ini?” Tanya Ina Rinda kepada anaknya dengan tersenyum, “La Hami,” lalu dipeluknya anak ini.
“Jika demikian, dewalah Raja Anjong, datu Rangga Sumbawa itu dan dewa, Putri Nakia, Garaha Mangkubumi kerajaan Sumbawa,” kata La Hami kepada Kedua orang tuanya, “Alangkah malangnya dewa Kedua, karena fitnah dan kejahatan Daeng Matita.”
“Belum lama kami ada di sini, pada suatu pagi tatkala aku ke pantai hendak mengail ikan, tiba-tiba terdengar oleh ku suara anak mengeak. Hatiku berdebar, karena suara yang sedemikian, sekali-kali tidak kusangka akan kudengar di sini. Selayang timbul takhyulku, yang menyangka suara itu bukan suara manusia, tetapi suara jin laut, yang hendak memperdayakan daku. Tetapi setelah teringat pula olehku, bahwa takhyul hanya ada dalam pikiran dan perasaan yang samar, kuperiksalah tempat itu dengan seksamanya. Ya, dalam suatu teluk kecil, kelihatan sebuah rakit yang terapung di atas air dan di atasnya ada seorang bayi, yang sedang menangis. Ia terbaring di atas sehelai tikar Jontal yang baik anyamannya dan diselimuti kain sutera bertekad emas, buatan Bima. Tatkala kuangkat bayi ini, nyatalah ia seorang anak laki-laki, yang baik parasnya dan tegap tubuhnya. Dokoh yang tergantung pada lehernya, terbuat dari emas yang sangat halus tempanya. Dokoh, selimut dan tilam ini, yang baik buatannya dan mahal harganya, menimbulkan keyakinan dalam hatiku, bahwa kanak-kanak ini bukan anak sembarang orang, tetapi anak orang baik juga; kalau bukan anak orang yang berpangkat tinggi, mungkin anak Raja-Raja. Lalu kubawa bayi ini kepada Ibumu, yang menerimanya dengan berlinang-linang air matanya, karena kesukaan dan kepiluan. Sekali.” terang Ompu Keli hal ihwal asal La Hami.
“Dan tahukah engkau siapa nama yang kami berikan kepada anak ini?” Tanya Ina Rinda kepada anaknya dengan tersenyum, “La Hami,” lalu dipeluknya anak ini.
-------------------
Di tengah-tengah keramaian dan kesukaan ini, duduklah Putri Nila
Kanti dengan gundah-gulana rupanya, sedang ingatannya tiada di sana.
Di tengah-tengah keramaian dan kesukaan ini, duduklah Putri Nila
Kanti dengan gundah-gulana rupanya, sedang ingatannya tiada di sana.
“Mengapakah Ruma tiada
bersiram?” tanya Wila.
“Tak ingin lagi,” sahutnya dengan pendek, lalu termenung pula.
“Tak ingin lagi,” sahutnya dengan pendek, lalu termenung pula.
“Sakitkah Ruma?” tanya
Wila pula, yang mulai kuatir akan tuannya.
“Sesudah beta melihat
wajah muka anak muda tadi, seakan-akan hilanglah sekalian kesukaan dan
keinginan hati beta. Siapakah anak muda ini? Di mana tempatnya? Dan mengapa ia
ke Dompo ini?” kata Putri Nila Kanti pula kepada dayangnya yang dipercayai dan
dikasihinya.
-------------------
Mengapa anak Raja Sanggar ini dengan orang-orangnya tidak dibunuh saja, Kepala? Apa gunanya mereka dipelihara di sini? Banyak kerja mengurusnya dan mereka menghabiskan makanan, sedang rahasia kita diketahuinya. Bukankah lebih baik kalau mereka tadi dibunuh saja di luar,” kata Karaka kepada Manderu.
Mengapa anak Raja Sanggar ini dengan orang-orangnya tidak dibunuh saja, Kepala? Apa gunanya mereka dipelihara di sini? Banyak kerja mengurusnya dan mereka menghabiskan makanan, sedang rahasia kita diketahuinya. Bukankah lebih baik kalau mereka tadi dibunuh saja di luar,” kata Karaka kepada Manderu.
“Aku hendak mencoba
mendapat hasil daripadanya,” jawab Manderu
“Bagaimana jalannya?
Dijual sebagai budak ke pulau lain?
“Mungkin. Atau kepada
Ponto Wanike, bajak laut yang mudah membawanya ke pulau lain.
Tetapi lebih dahulu
akan kucoba mendapat uang tebusan dan bapaknya, Sultan Sanggar.”
“He, aturan baru,”
sahut Karaka dengan berpikir.
“Dibunuh, takkan mendatang
keuntungan, hanya kecapaian. Sedang sesudah kita terima uang tebusan dan
ayahnya, masih dapat kita jual dia kepada Ponto Wanike. Dua kali untung, dengan
tak rugi.”
“Memang benar,” sahut
Karaka. “Tak sampai ke sana pikiranku.”
“Dan ada yang akan
lebih menguntungkan lagi dan Lalu Jala ini’
‘Apa itu?” tanya Karaka
pula dengan agak heran.
‘‘Putri Nila Kanti.’’
“Hah! Ia pun akan
engkau jual?”
‘Mengapa tidak?
Harganya akan lebih banyak dani harga Lalu Jala, sebab Ia perempuan cantik.”
‘Tetapi putri ini belum
ada dalam tangan kita.’
“Mustahilkah akan
mendapatnya?”
“Jangan kaulupakan, ia
ada dalam istananya, yang letaknya di tengah-tengah negerinya, dijaga oleh
laskarnya.”
“Engkau bukan Karaka,
kalau engkau tak dapat mencari akal, untuk mengambilnya dan pangkuan ibunya
sekalipun.”
deru.
-------------------
“Ya, aku Nila Kanti, Putri Dompo. Tuan siapa?” kedengaran suara perlahan-lahan dan dalam.
“Patik La Hami dan Sanggar, hendak melepaskan Tuanku.” Suara jeritan yang lekas dapat ditutup, kedengaran di dalam, yang diikuti suara sedu .... Sudah itu barulah ke luar perkataan Putri Nila Kanti, “La Hami, tolong aku!”
-------------------
“Ya, aku Nila Kanti, Putri Dompo. Tuan siapa?” kedengaran suara perlahan-lahan dan dalam.
“Patik La Hami dan Sanggar, hendak melepaskan Tuanku.” Suara jeritan yang lekas dapat ditutup, kedengaran di dalam, yang diikuti suara sedu .... Sudah itu barulah ke luar perkataan Putri Nila Kanti, “La Hami, tolong aku!”
“Segera Tuanku. Sabar
dan diam!”
Dengan segera Lalu Hami
dan Maliki menggagahi pintu penjara mi, sehingga tiada berapa lama kemudian,
terbukalah pintu mi, yang dikunci dan luar dan ke!uarlah Putri Nila Kanti.
Di luar, Putri Nila Kanti lalu memeluk Lalu Hami dan dengan air mata yang bercucuran Ia berkata, “Terima kasih Lalu Hami, terima kasih kekasihku,” lalu pingsanlah ia dalam pelukan Lalu Hami.
Di luar, Putri Nila Kanti lalu memeluk Lalu Hami dan dengan air mata yang bercucuran Ia berkata, “Terima kasih Lalu Hami, terima kasih kekasihku,” lalu pingsanlah ia dalam pelukan Lalu Hami.
Sekejap mata Lalu Hami
tiada berkata-kata, karena pelukan kekasihnya, yang sangat dicintainya ini dan
karena perkataan Putri Nila Kanti yang menamainya “kekasihku,” sehingga tahulah
ia bahwa Putri Nila Kanti pun cinta kepadanya. Dengan tiada diinsyafinya kedua
belah tangannya memeluk putri Dompo pula, sedang pipinya mendapat pipi Nila
Kanti, yang kepalanya tersandar di bahu Lalu Hami.
Berapa lamanya ia di
dalam Surga Janah i, tiada diketahuinya, tetapi tiba-tiba didengarnya suara
Maliki, “Hamba bermohon mencari Ruma Lalu Jala, Dewa.”
Di situ barulah Ia
ingat, bahwa kekasihnya yang ada dalam tangannya, sekali-kali belum terlepas
dan bahaya pembegal yang jahat itu. Bahkan ia ada dalam sarang harimau yang
ganas, yang pada waktu itu sedang tidur Tetapi apabila Ia bangun kembali,
niscaya ia dengan kekasihnya akan masuk ke dalam neraka jahanam. Oleh sebab itu
dengan segera Ia menjawab, “Ruma Lalu Jala serahkan kepadaku! Engkau segera
membawa Putri Nila Kanti ke luar dan tempat ini dan langsung ke Kempo. Minta
pertolongan Jenali Kempo, mengantarkan Putri Nila Kanti ke Dompo dengan
pengantar yang kuat’
“Dan Dewa?” tanya
Maliki dengan kuatir, “Aku tinggal di sini menolong Ruma Lalu Jala.”“Sendiri
saja?”
“Ceritakanlah! Beta
ingin mendengarnya,” kata permaisuri.
Kedua bentara ini lalu bercerita, bahwa mereka telah menghadap Toreli Lalu Abdul Hamid, yang kebenaran sedang menilik Raja Anjong, yang mulai sembuh dan lukanya, sedang gahara beliau, Putri Nakia pun ada pula bersama-sama.
Kedua bentara ini lalu bercerita, bahwa mereka telah menghadap Toreli Lalu Abdul Hamid, yang kebenaran sedang menilik Raja Anjong, yang mulai sembuh dan lukanya, sedang gahara beliau, Putri Nakia pun ada pula bersama-sama.
“Setelah patik
persembahkan, bahwa patik keduanya diutus oleh Puma Permaisuri Bima, untuk
memohonkan beberapa keterangan tentang La Hami yang telah datang ke Bima dahulu
dan ayah bunda beliau Ompu Keli dan Ina Rinda, lalu dipastikanlah oleh ketiga
Ruma itu, bahwa Toreli Lalu Abdul Hamid, memanglah La Hami, yang telah datang
ke Bima ini waktu perayaan sirih puan yang baru lalu. Beliau tiada tenggelam di
Selat Sape, tetapi terdampar di Teluk Warorada dan ditolong oleh orang Sondo,
lalu kembali ke Sanggar, sedang Ruma Raja Anjong, memanglah Datu Rangga Sumbawa
dahulu yang melarikan diri ke Pantai Sanggar, lalu menukar nama beliau di sana
dengan Ompu Keli, sedang gahara beliau yang bernama Putri Nakia, memakai nama
Ina Rinda.
Toreli Lalu Abdul Hamid
bukanlah putra kandung Ruma Raja Anjong, tetapi putra angkat beliau, yang
bertemu di pantai taut Sanggar, kira-kira 24 tahun yang lalu, tatkala Ruma itu
masih berusia kira-kira sebulan.”
Permaisuri Cahya Amin
pucat mukanya mendengar kepastian ini, sedang baginda dan Putri Sari Langkas
berdebar-debar jantungnya sehingga seakan-akan gemetar tubuhnya.
“Adakah konon suatu
tanda yang didapat Raja Anjong bersamaan dengan kanak-kanak itu?” tanya
permaisuri dengan gemetar suaranya.
“Ada Ruma, patik bawa,
yaitu sehelai tilam daun Jontal, buatan Bima yang amat baik anyamannya, sehelai
selimut buatan Bima pula, yang amat permai tenunannya dan sebuah Dokoh mas, pun
buatan Bima pula, yang amat elok tempaannya.”
“Mana, mana? Segera
perlihatkan kepadaku!” kata permaisuri tergesa-gesa dengan suara yang gugup,
karena tak sabar.
Kedua utusan
mempersembahkan dengan segera ketiga tanda-tanda yang dibawanya kepada
permaisuri, yang seakan-akan merebut barang-barang ini dan tangan kedua
bentaranya, lalu diperhatikannya beberapa lamanya dan diperiksanya benar-benar.
Setelah itu tiba-tiba
menjeritlah ia, “Anakku!” katanya, lalu rebah pingsan, tiada khabarkan dirinya.
5. Layar
Terkembang
Judul Novel : Layar
Terkembang
Penulis : S.
Takdir Alisjahbana
Tuti adalah putri
sulung Raden Wiriatmadja. Dia dikenal sebagai seorang gadis yang pendiam teguh
dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti yang selalu
serius dan cenderung pendiam sangat berbeda dengan adiknya Maria. Ia seorang
gadis yang lincah dan periang.
Suatu hari, keduanya
pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik melihat-lihat akuarium, mereka bertemu
dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu
bernama Yusuf, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya
adalah Demang Munaf, tinggap di Martapura, Sumatra Selatan.
Perkenalan yang
tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria pulang.
Bagi yusuf, perteman itu ternyata berkesan cukup mendalam. Ia selal teringat
kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada gadis lincah inilah perhatian
Yusuf lebih banyak tertumpah. Menurutnya wajah Maria yang cerah dan
berseri-seri serta bibirnya yang selalu tersenyum itu, memancarkan semangat
hidup yang dinamis.
Esok harinya, ketika
Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia bertemu lagi dengan Tuti dan
Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun kemudian dengan senang hati menemani
keduanya berjalan-jalan. Cukup hangat mereka bercakap-cakap mengenai berbagai
hal.
Sejak itu, pertemuan
antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap. Sementara itu Tuti dan ayahnya
melihat hubungan kedua remaja itu tampak sudah bukan lagi hubungan persahabatan
biasa.
Tuti sendiri terus
disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam kongres Putri Sedar yang berlangsung
di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan emansipasi wanita.
Suatu petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk memajukan kaumnya.
Pada masa liburan,
Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura. Sesungguhnya ia bermaksud
menghabiskan masa liburannya bersama keindahan tanah leluhurnya, namun ternyata
ia tak dapat menghilangkan rasa rindunya kepada Maria. Dalam keadaan demikian,
datang pula kartu pos dari Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu.
Berikutnya, surat Maria datang lagi. Kali ini mengabarkan perihal perjalannya bersama
Rukamah, saudara sepupunya yang tinggal di Bandung. Setelah membaca surat itu,
Yusuf memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudian menyusul sang kekasih ke
Bandung. Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun segera meninggalkan
Martapura.
Kedatangan Yusuf tentu
saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua sejoli itu pun melepas rindu
masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar air terjun di Dago. Dalam
kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya kepada Maria.
Sementara hari-hari
Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banyak
menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Sesungguhpun demikian pikiran Tuti
tidak urung diganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat
pula ia pada teman sejawatnya, Supomo. Lelaki itu pernah mengirimkan surat
cintanya kepada Tuti.
Ketika Maria mendadak
terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan sabar. Saat itulah tiba adik
Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta jawaban Tuti perihal
keinginandsnya untuk menjalin cinta dengannya. Sesungguhpun gadis itu
sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seorang, Supomo dipandangnya sebagai
bukan lelaki idamannya. Maka segera ia menulis surat penolakannya.
Sementara itu, keadaan
Maria makin bertambah parah. Kemudian diputuskan untuk merawatnya di rumah
sakit. Ternyata menurut keterangan dokter, Maria mengidap penyakit TBC. Dokter
yang merawatnya menyarankan agar Maria dibawa ke rumah sakit TBC di Pacet,
Sindanglaya Jawa Barat.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Pada suatu kesempatan,
disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya,
disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan.
Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam itu,
ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan
pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam
pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat
tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi,
sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di masyarakat
mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Sejalan dengan keadaan
hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin akrab, kondisi
kesehatan Maria sendiri justru kian mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun
rupanya sudah tak dapat berbuat lebih banyak lagi. Kemudian setelah Maria
sempat berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin
hubungan rumah tangga, Maria mengjhembuskan napasnya yang terakhir. “Alangkah
bahagianya saya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup
rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari
ini. Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya tidak rela
selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang
lain”. Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Lalu sesuai dengan pesan
tersebut Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali
melangsungkan perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.
Sumber : sumber didapat
dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar